Zum Inhalt springen

Sultanat Siak Sri Inderapura

aus Wikipedia, der freien Enzyklopädie
Dies ist eine alte Version dieser Seite, zuletzt bearbeitet am 10. Dezember 2011 um 09:25 Uhr durch id>VoteITP (merapikan). Sie kann sich erheblich von der aktuellen Version unterscheiden.

Vorlage:Infobox Former Country Kesultanan Siak Sri Inderapura merupakan sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di daerah Provinsi Riau, Indonesia, tepatnya di Kabupaten Siak sekarang.

Awalnya kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, dari Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya tersingkir atas tahta Kesultanan Johor.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.

Etimologi

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.

Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[1] masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.[2] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.

Agama

Perkembangan agama Islam di Siak, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu.

Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam ke dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak. Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.

Masa awal

Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau,[3] kemudian menjadi vazal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Munculnya VOC sebagai penguasa di Malaka, Siak diklaim oleh Johor sebagai bagian wilayah kedaultannya sampai munculnya Raja Kecil.

Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[4] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[5]

Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.[6] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[7]

Pada tahun 1717 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor atau Yang Dipertuan Besar Johor, namun di tahun 1722 Sultan Abdul Jalil disingkirkan akibat pengkianatan beberapa bangsawan Johor bersama pasukan bayaran dari Bugis, kemudian ia pindah ke Siak dan mendirikan kerajaan baru tahun 1723.[8]

Masa keemasan

thumb|250px|Sultan Siak dan Dewan Menterinya serta Kadi Siak di tahun 1888 thumb|250px|Upacara penobatan Sultan Siak di tahun 1899 Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[9] di tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan bahkan di tahun 1740-1745 menaklukan beberapa kawasan di Kedah.

Pada tahun 1761, putra Sultan Abdul Jalil yang menjadi Sultan Siak berikutnya membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya serta bantuan dalam bidang persenjataan.

Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[10] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[11] Kemudian pada tahun 1784 Kesultanan Siak ikut membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor,[12] karena sebelumnya Siak juga telah terikat perjanjian kerjasama dengan VOC.

Jangkauan terjauh pengaruh Kesultanan Siak sampai ke Sambas di Kalimantan Barat. Kesultanan Siak mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka dan kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut.

Penurunan

Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Kesultanan Inderagiri yang menjadi vassal dari Kesultanan Aceh.

Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris. Sementara pada tahun 1859 Belanda membatalkan niat mereka untuk menaklukan Kesultanan Siak, dan memilih untuk tetap menjadikan Kesultanan Siak berdaulat atas wilayahnya setelah Sultan Siak menjamin untuk menghancurkan para perompak yang bersembunyi di wilayahnya.

Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka dan persaingan dengan beberapa kerajaan lain seperti dengan Kesultanan Aceh, Kesultanan Johor, Kesultanan Jambi bahkan dengan pihak Inggris dan Belanda melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya. Kemampuan Kesultanan Siak dalam melakukan negoisasi menjadikan kerajaan ini tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia, walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.

Bergabung dengan Indonesia

[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Studioportret van de Sultan van Siak met zijn echtgenote TMnr 60003230.jpg|thumb|250px|Potret Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II dan istrinya (1910-1939)]]

Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra, seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.

Struktur pemerintahan

Pengaruh Kerajaan Pagaruyung, juga mewarnai sistem pemerintahan pada Kesultanan Siak, setelah Sultan Siak, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Minangkabau.

Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Empat di Negeri Sembilan. Dewan Menteri bersama dengan Sultan menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Dewan menteri ini terdiri dari:

  1. Datuk Tanah Datar
  2. Datuk Limapuluh
  3. Datuk Pesisir
  4. Datuk Kampar

Pada kawasan tertentu dalam Negeri Siak, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, yang dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, sama halnya dengan pengertian Rangkayo atau Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.

Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Negeri Siak serta Controleur Siak sebagai anggota.

Salah satu kitab hukum atau undang-undang di Negeri Siak, dikenal dengan nama Bab Al-Qawa'id. Kitab ini mengurakan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia-Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia-Belanda.[13]

Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak telah membagi beberapa kawasan dalam bentuk distrik yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak, salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan,[14] serta arsitektur istana Sultan Siak yang dibangun pada tahun 1889.

Daftar Sultan Siak

Berikut adalah daftar Sultan Siak Sri Inderapura.

Tahun Nama sultan Catatan dan peristiwa penting
1723-1746 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I[15]
1746-1761 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah II
Sultan Mahmud
Memindahkan pusat pemerintahan ke Mempura**
1761-1761 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah III
Raja Ismail[16]
Dipaksa VOC turun tahta, kemudian berkelana selama 18 tahun*
1761-1766 Sultan Abdul Jalil Jalaluddin Syah
1766-1770 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
1770-1779 Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
Raja Muhammad Ali
1779-1781 Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah III
Raja Ismail
Kembali berkuasa
1781-1791 Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah
Sultan Yahya[17]
Pada tanggal 1 - 8 - 1782 membuat perjanjian dengan VOC dalam berperang melawan Inggris, Meninggal dunia tahun 1791 dan dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia)
1791-1811 Sultan Abdul Jalil Syaifuddin Baalawi
Sultan Said Ali
1811-1815 Sultan Assyaidis Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin
1815-1864 Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Dipaksa Belanda turun tahta tahun 1864
1864-1889 Sultan Assyaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin I
1889-1908 Yang Dipertuan Besar Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin[13]
Sultan Syarif Hasyim
1915-1946 Yang Dipertuan Besar Syarif Kasyim Abdul Jalil Saifuddin[18]
Sultan Syarif Kasim II
Menyerahkan kerajaannya pada pemerintah Republik Indonesia
Catatan:
* Berdasarkan catatan Belanda, Raja Ismail lebih dikenal sebagai bajak laut.
** Berdasarkan Syair Perang Siak

Warisan sejarah

Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Istana Siak Sri Inderapura dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura. Nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Rujukan

Vorlage:Reflist

Daftar Pustaka

  • D. J. Goudie, P. L. Thomas, T. Effendy, (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, MBRAS.
  • A. Flicher, Les Etats princiers des Indes néerlandaises, Dreux 2009
  • Luthfi, A., (1991), Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.
  • Ghalib, W. dkk, (1992), Adat istiadat Melayu Riau di bekas Kerajaan Siak Sri Indrapura: pengkajian dan pencetakan kebudayaan Melayu Riau, Lembaga Adat Daerah Riau, Lembaga Adat Riau dan Pemerintah Daerah Tk. I Prop. Riau, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau.
  • H. T. S. Umar Muhammad, Tenas Effendy, T. Razak Jaafar, (1988), Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan.s.n.

Lihat Pula

Pranala luar

Vorlage:Commons cat

Galeri Bendera


Vorlage:Kerajaan di Sumatera

Siak Siak

  1. James Tod: The annals and antiquities of Rajastʾhan: or the central and ..., Volume 2. Indian Publication Society, 1899, S. 1010 (google.co.in).
  2. Iaroslav Lebedynsky. (2006). Les Saces: Les «Scythes» d'Asie, VIIIe siècle av. J.-C. — IVe siècle apr. J.-C. Editions Errance, Paris. ISBN 2-87772-337-2
  3. Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
  4. W.P. Coolhaas: Generale Missiven der V.O.C. In: Journal of Southeast Asian History. 2. Jahrgang, Nr. 7, 1964, doi:10.1017/S0217781100003318.
  5. NA, VOC 1895, Malacca, 30 Januari 1718, fols.55-6.
  6. Andaya, L.Y., (1971), The Kingdom of Johor, 1641-1728: a study of economic and political developments in the Straits of Malacca. s.n.
  7. NA, VOC 1557, Jambi, 1 April 1694, fols.35-6.
  8. Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
  9. Timothy P. Barnard, (2003), Multiple centres of authority: society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press, ISBN 9067182192.
  10. Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1989
  11. Cribb, R. B., Kahin, A., (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0810849356.
  12. Karl Hack, Tobias Rettig, (2006), Colonial armies in Southeast Asia, Routledge, ISBN 0415334136.
  13. a b Luthfi, A., (1991), Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.
  14. L.W.C. van de Berg, Le Hadramouth et les colonies Arabes dans l'archipel Indien, Batavia:Imprimerie du gouvernement, 1886.
  15. Vorlage:Nl Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia: Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde. Band 11. Lange & Co., 1862, S. 113 (google.co.id).
  16. Barnard, T. P., (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, NUS Press, ISBN 9971692791.
  17. Koster, G. L., (1997) Roaming through seductive gardens: readings in Malay narrative, Volume 167 of Verhandelingen Series, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
  18. Dutch East Indies, (1941), Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië, Volume 1.